Sufisme Jawa
Samidi Khalim
| 11 Agustus 2010 | 14:48
Mistik Jawa yang Unik
Pengertian
Mistik Jawa lebih dikenal dengan kebatinan, atau kebatinan Jawa. Kata
kebatinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:660), mempunyai akar
kata “batin” (arab), yang artinya di dalam, bagian dalam kata batin
mendapat afiks ke-an, menjadi “kebatinan”, yang artinya bagian tertutup
di dalam. Sedangkan secara harfiah, kebatinan adalah sesuatu yang
tersembunyi, kebenaran di balik kebenaran atau kebenaran yang terdalam
(Munir Mulkhan, 1984:87). Menurut H.M. Rasyidi kebatinan merupakan
salinan yang wajar dari (letterlijk)
dari kata arab “bathiniyah”, atau merupakan salinan dari perkataan
“Occultisme”, yang artinya tersembunyi dan rahasia (HM. Rasjidi,
1992:65).
Mistik
Jawa lebih merupakan sikap hidup keagamaan orang Jawa, karena
kenyataannya mistik Jawa dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi
semacam agama orang Jawa yang bersifat mistik (Romdlon, 1993:77).
Kepercayaan mistik orang Jawa yang banyak dijumpai di lingkungan istana
(kerajaan) khususnya, terlihat banyak yang bersendikan nilai-nilai
agama. Pola hidup mistik telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
Jawa, sehingga menjadi bentuk kepercayaan masyarakat.
Dengan
demikian, secara historis mistik Jawa (kebatinan) diartikan sebagai
kebudayaan spiritual dari Keraton Jawa, yang berasal dari zaman yang
sudah tua dan telah mengalami perkembangan yang sangat unik pula, “Agama
ageming Aji, Kawruh kawruhing Ratu” (Warsito, 1973:19).
Untuk
lebih jauh memahami mistik Jawa (kebatinan) yang merupakan sikap
keagamaan masyarakat Jawa akan lebih jelas bila diungkapkan tentang
hakekat mistik Jawa itu sendiri. Menurut De Jong mistik jawa itu tidak
berdasar pada doktrin tertentu, namun demikian dalam aliran yang
beraneka ragam terdapat penekanan-penekanan yang sama. Pandangan tentang
konsep manusia, kesatuan dan perkembangannya terdapat kesamaan. Para
penganut mistik dituntut untuk menjadi manusia yang “Sepi ing Pamrih, rame ing gawe” dan ikut “memayu hayuning Bawana”
(Banyak bekerja bhakti dengan tanpa mementingkan keuntungan pribadi dan
ikut membentuk dunia yang indah dan makmur), inilah yang menjadi
pedoman dan falsafah aliran-aliran kebatinan (HM. Rasjidi, 1992:65).
Hidup
berolah batin merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa atau sebagai
hidup kerohanian. Kebatinan memang berarti berolah batin atau berolah
rasa, dengan maksud agar hidup manusia sesuai dengan prinsip hidup yang
diterima dan dirasa oleh hati, berdoalah batin atau berolah rasa inilah
yang menjadi inti atau hakekat mistik Jawa, namun demikian
pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh para penempuh mistik Jawa
berbeda-beda dalam mengekspresikannya. Puncak penghayatan dan penerimaan
akan apa yang diusahakan dalam laku olah batin itu meliputi :
a. Okultisme
Bagi
para penempuh jalan mistik yang telah mencapai pada taraf tertentu,
maka ia akan memiliki kekuatan-kekuatan ghaib (supernatural) yang tidak
dimiliki oleh orang biasa. Kekuatan ghaib tersebut dapat digunakan untuk
melayani keperluan hidup manusia, seperti pengobatan, perlindungan,
peramalan. Hakekat mistik semacam ini disebut “science occultes” atau “occultisme” (HM. Rasjidi, 1992:53).
Kebatinan
meliputi ilmu ghaib, ilmu sihir, baik yang hitam maupun yang putih.
Metaphisika yang dipraktekkan dalam hidup dan segala macam perbuatan dan
pengetahuan ghaib. Occulte berarticache atau sacret,
artinya tersembunyi atau rahasia, dipakai untuk menunjukkan kekuatan
materiil dan spiritual yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
Kekuatan tersebut juga tidak dapat diselidiki operasi-operasi yang
menggerakannya.
Gaya
hidup orang Jawa yang cenderung pada kebatinan sebagai budaya untuk
mengatasi alam material dengan kekuatan ghaib (okultis). Percaya adanya
ramalan-ramalan, kemungkinan lambang-lambang, kesaktian barang-barang
keramat dan makam-makam. Sikap hidup semacam ini hampir ada di semua
daerah Jawa, lebih–lebih di Jawa Tengah terutama daerah lingkungan
istana (Solo dan Yogyakarta) dan daerah disekitarnya.
Kebatinan
yang mengutamakan pada pencapaian daya ghaib, okultisme, biasanya
dengan melakukan berbagai macam upacara seremonial. Menyediakan sesaji
untuk para penghuni alam ghaib, melalui hirarki, roh-roh, dewa-dewa,
setan-setan, malaikat-malaikat, dan para leluhur. Sesaji ini sebagai
perantara untuk mengadakan kontak dengan alam ghaib, memohon keberkatan
dan memperoleh kekuatan (kesaktian).
Okultis
(kekuatan ghaib) akan diperoleh seseorang setelah orang itu melakukan
berbagai macam syarat, tapa brata dan berbagai laku keprihatinan.
Menghayati ketuhanan, menghilangkan rasa diri “keakuannya”, dengan jalan
mengekang hawa nafsu dan kebutuhan-kebutuhan hidup alamiahnya. Okultis
digunakan sebagai bukti bahwa seseorang telah berhasil mencapai
penghayatan Tuhan, melakukan kontak hubungan dengan Yang Maha Kuasa,
dengan menunjukkan kekuatan-kekuatan material dan spiritual untuk
mengatasi permasalahan hidup.
b. Manunggaling Kawula – Gusti
Para
penganut kebatinan mengakui bahwa tujuan tertinggi dalam penghayatan
mereka adalah mencapai kesatuan dengan realitas tertinggi (Tuhan). Oleh
sebab itu golongan kebatinan berusaha mencapai tujuan utamanya, bersatu
dengan Tuhan (Jumbuh),
mempersatukan jiwa manusia dengan dzat Tuhan melalui latihan-latihan
rohani. Latihan rohani yang dapat menghantarkan manusia pada persatuan
dengan Tuhan antara lain seperti “mati sajroning urip”
(merasakan hidup baka sebelum mati). Golongan yang menempuh jalan
mistik ini disebut dengan Mysticisme atau ahli Mistic (HM. Rasjidi,
1992:53).
Manunggaling
Kawula-gusti yang emnjadi tujuan tertinggi pengamal kebatinan merupakan
upaya yang harus dicapai manusia untuk memperoleh kenyataan Tuhan.
Jalan mencapai penghayatan tersebut melalui “manekung amuntu samadhi”,
yaitu membaca rumusan kata-kata yang dianggap memiliki daya magis, yang
mampu menyatukan jiwa manusia dengan zat Tuhan (Simuh, 1998:289).
Kesatuan yang dicapai dalam bentuk “zat Tuhan meliputi manusi”, ibarat
zat Tuhan sebagai air samudra sedangkan manusia adalah setitik air di
dalamnya (Tan Koen Swie, 1928:27).
Manusia
di dunia dinyatakan sebagai sifat Tuhan, di akhirat atau sesudah mati,
melalui penghayatan ghaib akan kembali menjadi zat Tuhan. Kadangkala ada
juga paham yang mengakui kalau manusia itu sebagai hamba yang berbeda
dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang sering digunakan untuk
menggambarkan persatuan manusia dengan Tuhan seperti “curiga manjing ing warangka”, yakni manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam badan Dewa Ruci. Istilah lain“warangka manjing curiga”, yakni Tuhan nitis (masuk) dalam diri manusia, seperti Dewa Wisnu nitis dalam diri Sri Kresna.
Ada
istilah lain untuk menggambarkan kesatuan manusia dengan Tuhan, dalam
Wirid Hidayat Jati-nya Rangga Warsito menggunakan istilah “kumpul” (angumpulaken kawula Gusti). Ungkapan lain yang juga sering digunakan adalah “pamoring kawula Gusti”, yang menunjukkan adanya dua hal yang berpadu menjadi satu, atau berbeda bersama dalam suatu tempat (Simuh, 1998:298).
c. Sangkan Paraning Dumadi
Penganut
kebatinan yang mencoba memperoleh penghayatan hakekat Tuhan sebagai
sesuatu yang nyata di dunia ini, dengan mengetahui siapa sebenarnya
manusia itu (hakekat manusia). Dari mana manusia itu berasal dan akan
kemana setelah manusia hidup di dunia ini. Golongan semacam ini berusaha
mencapai pemahaman hakekat manusia dan dengan pemahaman tersebut akan
didapatkan hakekat Tuhan, golongan ini biasa menyebut pengetahuan
tersebut dengan istilah“Sangkan Paraning Dumadi”.
H.M. Rosjidi menyebut golongan kebatinan ini dengan ahli Methaphysic
(HM. Rasjidi, 1992:53). Para ahli methapisic berusaha mengenal Tuhan dan
menembus alam rahasia, sampai pada penghayatan dari mana asal hidup
manusia itu, dan akan kemana hidup itu akhirnya pergi (kembali).
Hakekat
mistik Jawa (kebatinan) yang berupaya mencapai pengetahuan sangkan
paraning dumadi ini lebih jelas di dalam karya Ranggawarsito, Serat
Wirid Hidayat Jati. Konsep manusia dalam Serat Wirid diterangkan, bahwa
hakekat manusia itu berasala dari Hayyu (atma). Hayyu ini berada di
dalam jasad yang diliputi oleh lima macam muddah
(Nur, Rahsa, Ruh, Nafsu, Budi). Badan terdiri dari empat anasir, yaitu :
api, air, tanah dan angin. Jasad dikuasai oleh akal (budi), nafsu
dikuasai oleh sukma. Sukma dikuasai oleh rahsa, rahsa dikuasai oleh
cahaya (nur). Cahaya dikuasai oleh Hayyu (atma), hayyu dikuasai oleh
Dzat yang Maha Suci. Hayyu mendapat penyerahan kekuasaan dari Dzat yang
Maha Suci untuk menghidupi seluruh anggota badan, termasuk ruh, hayyu
adalah pembawa kehidupan manusia (Simuh, 1996:218).
Tujuan
hidup manusia harus berusaha untuk dapat bersatu dengan Tuhan, kesatuan
itu dapat dicapai ketika manusia berada di dunia melalui perjalanan
spiritual. Setelah hidup di dunianya mampu melakukan kontak dengan
Tuhan, maka kesatuan yang sebenarnya akan dapat tercapai setelah manusia
itu mengalami mati. Mati merupakan langkah awal dari persatuan manusia
dengan Tuhannya secara hakiki.
Menurut
Ranggawarsito manusia berasal dari nur (cahaya) Tuhan yang ghaib, yang
terkurung oleh badan wadag yang tersusun atas empat anasir (air, api,
tanah, angin). Badan wadag setelah meninggal, tidak akan dapat bersatu
kembali kepada zat asal Tuhan apabila semasa hidup di dunia tidak
dibekali dengan pengetahuan akan Tuhan, pengetahuan tentang Tuhan inilah
yang merupakan sangkan peran (asal mula) hidup mansuia, atau dalam
istilah tasawuf disebut “Hakekatul Ilahiah” (Simuh, 1996:229).
Ilmu
Sangkan Paran ini dimaksudkan agar manusia setelah mati ruhnya tidak
tersesat ke alam rendah (alam binatang), tetapi dapat bersatu dengan zat
Tuhan kembali. Bersatunya kembali sifat Tuhan dalam diri manusia dengan
zat Tuhan inilah yang disebut dengan ”kasampurnan” (kesempurnaan).
Ngelmu sangkan paran tersebut harus dimiliki oleh manusia agar setelah
mati dapat tercapai persatuan (manunggal) dengan Tuhan, tercapai
kesempurnaan hidup.
Metode Mistik Jawa
Kebatinan
memang mengutamakan hal-hal yang bersifat abstrak berusaha untuk
mencapai pemahaman yang mutlak, kembali bersatu dengan Tuhan. Melalui
berbagai macam latihan rohan dan laku keprihatinan, agar manusia dapat
mencapai tujuan atau hakekat mistik (kebatinan) tersebut. Manusia agar
memperoleh kesempurnaan, bersatu dengan Tuhan, haruslah berusaha dahulu
semasa hidup di dunia, merealisasikan sifat-sifat yang mutlak ke dalam
hidup di dunia.
Kebatinan
mengandaikan adanya ruang hidup yang kekal. Disitulah terdapat
kenyataan mutlak, latar belakang terakhir dan definisikan dari segala
apa yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu. Seluruh alam kodrat
dengan segala daya – tenaganya hadir secara immanent di dalam batin itu
dalam wujud kesatuan tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bagi para
penganut kebatinan bila ingin mengaktivir daya batinnya maka harus
dengan olah rasa atau samadhi, yang dapat membebaskan diri dari
prasangka tentang keanekaan bentuk-bentuk (mengekang keinginan duniawi).
Dalam olah batin atau samadhi tersebut, seseorang dapat melakukan
kontak dengan alam ghaib, sehingga manusia menyadari diri sebagai
satu-dalam-semua dan semua-dalam-satu, selanjutnya ia menerima kekuasan
atas daya ghaib dalam kosmos (Rachmat Subagya, 1995:43).
Untuk
dapat mencapai tujuan mistik tersebut, dari pencapaian daya gaib sampai
menyatu dengan Tuhan, maka tiap-tiap penempuh jalan mistik harus
melewati tahap demi tahap, anak tangga itu ialah (Rachmat Subagya,
1995:257):
1. Pengintegrasian diri
Unsur
ini merupakan anak tangga pertama yang harus dilalui oleh pengikut
kebatinan. Pada tahap ini, manusia harus berusaha memusatkan seluruh
tenaga pada sentrum batin, dimana dianggap sebagai “aku” yang sebenarnya
dari diri manusia (hakekat manusia). Tahap ini didahului dengan upaya
menghilangkan rasa “keakuannya” (ego), dengan jalan mengekang
nafsu-nafsu dan kebutuhan hidup alaminya.
2. Transformasi
Pada
tahap transformasi ini, seorang mistikus sudah memiliki kemampuan yang
lebih tinggi dibanding dengan taraf-taraf sebelumnya. Tahapan ini
ditandai dengan adanya kemampuan seorang mistikus untuk bersatud engan
dzat yang lebih tinggi. Manusia atau lebih tepatnya seorang mistikus
yang telah mencapai taraf kesatuan tersebut dapat berbentuk kesatuan
etis, kesatuan kosmis, atau kesatuan yang bersifat Pantheistis.
Kesatuan
Ethis, dalam kesatuan ini akan tercetak manusia yang berbudi luhur,
karena sang mistikus merasa telah mampu mentransformasi sifat-sifat
kebaikan dari sang Sumber Kebajikan. Nilai-nilai kebaikan mampu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang yang sudah
mampu mencapai kesadaran ini akan berbudi luhur berakhlak mulia.
Kesatuan
Kosmis, dalam kesatuan ini rasa diri manusia lebur, karena sudah
ditekan oleh kesatuan alam atau jiwa alam. Dalam tahap kesatuan kosmis,
kesadaran diri manusia sebagai bagian kosmis (mikrokosmos) telah menyatu
dengan makrokosmos (alam semesta). Kesadaran terhadap kosmis ini akan
melahirkan perilaku damai, cinta kasih terhadap semua makhluk, ramah
terhadap lingkungan, menjaga keselarasan alam. Sikap kesadaran kosmis
orang Jawa ini mewarnai pola pikir dan tindakannya, sehingga melahirkan
kepercayaan atau keyakinan bahwa salah satu tugas manusia hidup di dunia
adalah “memayu hayuning bawana” (menjaga keselarasan alam).
Kesatuan
yang bersifat Pantheistis, kesatuan ini sebenarnya sama seperti dengan
kesatuan kosmis, hanya saja jiwa kosmis diganti dengan istilah Tuhan.
Dalam kesatuan ini terbentuklah apa yang dinamakan dengan manuggaling
kawula-Gusti. Manusia penempuh jalan mistik jika mampu mencapai kesadran
pantheistis ini, merasa begitu dekat, begitu akrab dengan dengan Tuhan,
bahkan merasa bahwa Tuhan telah menyatu dengannya. Menyatu dalam arti
ruhani, sehingga setiap ucapan dan perilaku yang nampak ke permukaan
adalah cerminan dari sifat dan kehendak Tuhan itu sendiri.
3. Partisipasi dengan daya ghaib
Manusia
apabila mampu melewati beberapa anak tangga msitik tersebut, maka ia
akan memperoleh daya ghaib yang luar biasa (okultis). Daya ghaib
diperoleh manusia sebagai bukti, jika ia telah mampu berhubungan atau
bahkan bersatu dengan kosmis, dengan Tuhan. Melalui kekuatan daya ghaib
tersebut manusia dapat melakukan hal-hal luar biasa yang tidak dapat
dilakukan oleh manusia biasa, untuk mengatasi permasalahan hidup (alam
materi). Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para penempuh jalan
mistik tersebut dapat berupa kemampuan menyembuhkan penyakit, mengusir
jin atau setan yang mengganggu, memberi berkah, bahkan mengetahui
hal-hal yang belum terjadi(weruh sadurunge winarah).
Itulah
spektrum luas dari anak tangga yang harus dijalankan oleh penempuh
jalan mistik (kebatinan). Adakalanya penempuh jalan mistik itu sampai
akhir, ada pula yang mencukupkan pada anak tangga pertama atau kedua
saja.
[*] Tulisan ini diadopsi dari buku “Islam dan Spiritualitas Jawa” (Samidi Khalim, Rasail: 2008)
http://alangalangkumitir.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment